Foto saya
Jalan Kenanga No. 99 Kota Padadangsidimpuan-22725,Telp: (0634)21897,(0634)21605, Fax.: 0634)23478)

6 Mei 2011

PENILAIAN

SEKSI PELAYANAN PENILAIAN




Fungsi teknis penilaian sejatinya telah ada sejak DJKN ini masih bernama DJPLN, namun pada saat itu penilaian hanya berkutat pada penilaian barang jaminan kredit macet. Metodenya pun saat itu, menurutku masih ga jelas. Memang, untuk penilaian bangunan pada saat itu telah menggunakan Daftar Komponen Penilaian Bangunan, namun penerapan metode biaya versi DKPB saat itu masih belum se-detail sekarang, karena memang model generalisasinya masih "lebar", tidak se"sempit" sekarang, sehingga nilai yang dihasilkan juga tidak se-akurat DKPB masa kini. Untuk penilaian tanah, walaupun menggunakan "alih-alih" metode data pasar namun data pasar yang digunakan saat itu tidak lebih dari harga pasar yang didapat dari keterangan kepala desa setempat yang masih terlalu lebar bias-nya karena tidak ada proses komparasi antara obyek penilaian dengan obyek pembanding di dalamnya. Harga pasar tanah yang dihasilkan pun merupakan agregat antara harga pasar keterangan lurah dan NJOP setempat. Tapi begitulah  sebuah proses, tidak mungkin semuanya akan langsung sempurna pada awalnya. Fungsi penilaian dirasa menjadi semakin strategis ketika DJPLN bertransformasi menjadi DJKN yang mana scope tugasnya pun menjadi lebih banyak dan luas. Itu berarti tantangan yang harus dihadapi bidang penilaian semakin berat. Secara bertahap pedoman penilaian disusun sedemikian rupa dan menyesuaikan dengan kaidah penilaian yang telah berlaku umum. Metode yang digariskan dalam pelaksanaan teknis penilaian pun telah ditegaskan untuk menggunakan kaidah yang berlaku umum. Masa-masa berat "perang" target IP sampai dengan tulisan ini dibuat masih dijalani oleh teman-teman Kanwil & KPKNL. Namun, banyak yang bertanya-tanya, akan seperti apa bidang penilaian setelah IP ini berakhir? Apakah penilaian akan mati suri untuk sementara waktu sembari menunggu periode IP selanjutnya? Penilaian tetap mempunyai arti dan fungsi penting. Yang perlu diingat, bahwasanya penilaian senantiasa melekat dalam proses pengelolaan aset, yang secara khusus disini adalah aset negara. Aset yang senantiasa berubah sepanjang waktu memerlukan penilaian sebagai media kontrol, evaluasi, dan tentu saja pelaporan. Sebagai media kontrol, penilaian merupakan proses pengawasan keberadaan aset yang berupa kegiatan survey dan inventarisir aset. Sedangkan penilaian sebagai media evaluasi adalah dimana hasil penilaian dapat menjadi patokan penentuan seberapa efektif dan efisien keberadaan sebuah aset dalam menunjang kelangsungan hidup organisasi. Hasil penilaian itu sendiri akan menjadi bahan pelaporan periodikal bagi sebuah organisasi. Nah ditinjau dari 3 segi ini saja sebenarnya banyak hal yang akan berkembang dan tentunya melibatkan penilaian di dalamnya. Sebagai contoh, teman-teman di kantor pusat akhir-akhir ini cukup banyak kebanjiran "job" dari departemen/lembaga negara berupa permohonan penilaian dalam rangka pemanfaatan dan pemindahtanganan Barang Milik Negara, apakah itu yang hibah, penghapusan, maupun ruislag. Bulan kemarin juga, kami banyak menerima permohonan bantuan tenaga penilai dari Pemerintah Daerah, namun untuk sementara belum dapat ditindaklanjuti karena beban kerja di kantor yang masih cukup tinggi. Nah dari sedikit contoh tersebut (yang kemungkinan bisa berkembang), menyiratkan bahwa tugas kita sebagai penilai tidak hanya sampai disini (baca : IP) saja. Masih banyak potensi lahan penilaian yang bisa digarap, tinggal kita harus menyiapkan diri untuk lebih meningkatkan kompetensi kita dalam mengahdapi "tantangan" tersebut. Siapkah anda...?



Berbicara tentang berbagai disiplin ilmu tentu kita tidak bisa lepas dari mana ilmu tersebut berasal dan bagaimana perkembangannya sampai saat ini. Sejarah ilmu pengetahuan menjadi penting untuk diketahui agar perkembangan ilmu tersebut selalu terinspirasi dari orientasi dan filosofi dasar dikembangkannya ilmu tersebut. Demikian juga dengan Penilaian Properti. Disiplin ilmu yang satu ini memang sudah lama dikenal dinegara maju. Namun di Indonesia sendiri perkembangan ilmu ini belum bisa dibilang menggembirakan meskipun telah banyak usaha yang dilakukan oleh akademisi maupun praktisi dalam mensosialisasikan dan mengembangkannya.
Di Indonesia Penilaian properti riil bukan merupakan hal baru. Penilaian properti riil telah dikenal dan usianya sama panjangnya dengan sejarah penjajahan di negeri ini, walaupun saat itu, Penilaian hanya dipahami dalam kalangan yang terbatas baik pengguna dan praktisinya. Penilaian yang pada jaman kolonial dikenal secara terbatas ini dikenal dengan klasiran dan nilai yang diperoleh berbentuk kelas tanah dan lebih dikonsentrasikan dalam menilai tanah pertanian/sawah/kebun dan ditujukan untuk tujuan perpajakan.
Dalam pelaksanaan pajak properti, pada jaman penjajahan dikenal dengan Land Rente, kemudian dalam masa Raffles dikenal Land Rent, selanjutnya menjadi Pajak Hasil Bumi, Ipeda dan terakhir Pajak Bumi dan Bangunan , Penilaian merupakan core system-nya pajak properti.
Sejak jaman kolonial dulu, pada kenyataannya profesi Penilai umumnya banyak berkiprah di instansi pemerintah. Profesi Penilai masa kolonial tidak hanya bekerja di bidang perpajakan saja namun juga berkiprah di instansi lain seperti juru taksir pada instasi Pegadaian untuk kepentingan menentukan nilai pasar properti yang diagunkan di pegadaian, Lelang Negara untuk menentukan nilai lelang properti yang akan dilelang oleh Kantor Lelang Negara.
Masyarakat pedesaan sejak zaman kolonial telah mengenal Mantri Klasir yang pekerjaannya menentukan nilai tanah pertanian untuk dikelompokkan dalam kelas tanah sebagai dasar pengenaan Pajak Tanahnya.
Mantri Klasir inilah yang berperan dan berfungsi sebagai Penilai untuk tujuan perpajakan. Pendidikan untuk menjadi Mantri Klasir harus melalui jenjang pendidikan 2 tahun yang berlokasi di Malang Jawa Timur dan Cirebon Jawa Barat. Mantri Klasir ini juga sekaligus berfungsi sebagai Land Surveyor, karenanya mereka juga berpredikat sebagai Mantri Ukur. Metode Penilaian yang digunakan pada zaman itu adalah metoda kapitalisasi pendapatan, yakni berdasarkan hasil bersih yang dihasilkan tanah pertanian dikalikan dengan tingkat kapitalisasi 10 %.
Bahkan untuk terawasinya praktek Penilaian dan perkembangan nilai tanah pertanian, Direktorat Ipeda pada masa itu “memelihara” benchmark tanah pertanian dengan membuat sawah percobaan tiap tahunnya. Sehingga hasil bersih (net operating income) yang dihasilkan tanah pertanian dengan kondisi yang wajar dapat diketahui.
Sesuai dengan tuntutan perkembangan dan sejak diundangkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, yang didalamnya tidak hanya menetapkan objek pajak pertanian, maka untuk memenuhi tuntutan pemenuhan Penilaian bangunan dikembangkan pendidikan yang lebih luas lagi.
Untuk memenuhi tuntutan tersebut Pemerintah Indonesia menjalin kerjasama dengan Pemerintah Malaysia. Departemen Keuangan yang mewakili pemerintah Indonesia, sejak tahun 1987 menyelengarakan Kursus/Pelatihan Penilaian Harta sebagai cikal bakal pengembangan lebih luas atas properti yang harus dinilai. Sehingga kita dapat mengejar ketertinggalan perkembangan Penilaian dari saudara seprofesi diwilayah regional ASEAN.
Sebagai contoh Malaysia yang serumpun dan memiliki karakter sosial yang relatif sama dengan kita memelihara profesi Penilai sejak zaman pemeritahan kolonial Inggris dan mengembangkan profesi Penilai ini. Negeri jiran itu telah memiliki institusi bidang Penilaian yang kuat, baik di sektor swasta maupun dalam struktur pemerintahan.
Di Indonesia pekerjaan penilaian properti dibebankan kepada satu unit setingkat eselon II yaitu Direktorat Penilaian yang berada di bawah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, yang bertanggungjawab atas pekerjaan penilaian properti, baik dari standardisasi maupun teknis penilaian kekayaan negara.
B. ORGANISASI PROFESI PENILAI
Para Penilai di dunia bergabung dalam organisasi profesi Penilai di nasing-masing negara. Mereka juga menjadi anggota asosiasi profesi sesuai dengan wilayah/region masing-masing.
Sejarah Asosiasi Profesi Penilai yang ada di Indonesia :
1976 berdiri API (Asosiasi Penilai Indonesia).
1979 berdiri GAPINDO (Gabungan Profesi Penilai Indonesia) menjadi GAPPI 1980.
1980 berdiri MAPPI (Masyarakat Profesi Penilai Indonesia)
2010 berdiri APPP (Asosiasi Profesi Penilai Pemerintah)

sumber : http://tumorang.blogsome.com dengan beberapa tambahan dan penyesuaian


Tidak ada komentar:

Posting Komentar